Selasa, 29 Desember 2009

Bahasa dan Jender

Istilah “bahasa perempuan” (women’s language) diasumsikan memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dengan bahasa laki-laki. Fenomena bahasa dan jenis kelamin dapat diperjelas dengan tiga metode yaitu penjelasan sosiobiologis, sosiopsikologis, dan sosiopolitis. Penjelasan sosiobiologis pada manusia berdasarkan suara antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik paling khas laki-laki berasal dari “hukum pertarungan”. Vokalisasi suara laki-laki dirancang agar terkesan agresif dan mengancam dalam medan persaingan.

Penjelasan sosiopsikologis memasukkan konsep jender yang merupakan atribut psikologis yang membentuk sebuah kontinum dari sangat maskulin hingga sangat feminine. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa seseorang bias bersifat “agresif” (dinilai sifat maskulin) sekaligus “penuh kasih sayang” (dianggap lebih diinginkan secara social pada perempuan). Berdasarkan penjelasan sosiopolitis para feminis sering menyatakan bahwa wujud sifat alami yang melingkupi sedemikian banyak aspek gender memiliki implikasi-implikasi politis yang penting. Adanya stereotype suara perempuan dianggap feminine dan laki-laki dianggap maskulin akan sangat merugikan perempuan.

Beberapa teori tentang bahasa dan jender antara lain teori dominasi yang menawarkan penjelasan tentang perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki berkenaan dengan kekuasaan. Banyak kasus yang mendukung teori ini, misalnya pengalaman dalam dunia bisnis. Perempuan sering mengalami kesulitan dalam menuntut hak suaranya dan sering diinterupsi dalam percakapan serta pendapat yang dikemukakan hanya dianggap angin lalu. Kelemahan dalam teori ini adalah anggapan bahwa perempuan adalah “korban” ketidakberdayaan sedangkan laki-laki dipandang bersifat “merusak”, “mengeluarkan”, dan “merendahkan” perempuan. Pada kenyataannya kedua kelemahan tersebut memang tidak terbukti di masyarakat.

Kedua teori perbedaan, teori ini memilki beberapa jawaban atas kelemahan teori dominasi. Menurut teori ini dalam kenyataannya perempuan dan laki-laki mengembangkan gaya-gaya berbicara atau bertutur yang berbeda, mereka terpisah dalam tahap penting kehidupan mereka. Teoti ini menjelaskan bahwa perempuan menginginkan hubungan-hubungan kolaborasi, keintiman, kesamaan, pemahaman, dukungan, dan pendekatan. Sebaliknya, lak-laki menuntut dugaan orang menempatkan sebuah harga dari status dan kemerdekaan sebagai sesuatu yang penting, dan kurang berkenan dengan perselisihan dan ketdaksamaan yang terus terang dalam hubungan mereka.

Pada dasarnya memang perempuan berbeda dengan laki-laki, stuktur hormonal juga mungkin memiliki pengaruh terhadap gaya seseorang termasuk gaya berbicara dan gaya bahasa yang digunakan. Yang belum sempat tersentuh dalam sumber ini adalah perbedaan bahasa kepenulisan antara laki-laki dan perempuan. Menurut saya terdapat perbedaan yang sangat kentara dalam penggunaan bahasa antara pengarang perempuan dan laki-laki dan sedikit bertolak belakang dengan teori yang ada terutama teori dominasi.

Bahasa dan Politik

Dalam permainan politik, bahasa adalah senjata. Ini menunjukkan bagaimana pentingnya bahasa berkaitan dengan politik. Seperti George Orwell sudah menulis, ‘Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan kelihatan jujur dan pembunuhan sopan’. Tetapi bahasa dalam politik tidak selalu jadi jahat karena bahasa sebagai alat yang sama digunakan baik oleh politikus maupun aktivis. Alat ini bisa digunakan untuk menbujuk, memberitahu dan mencela. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pemerintah menyakinkan masyarakat tentang kebijaksanaannya, dan juga bagaimana masyarakat menanggapi keputusan itu.

Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Konflik kepentingan diatasi dan naluri saling mendominasi ditangani. Kampanye pemilu merupakan bagian politik mikro. Bahasa kampanye, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa kampanye bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif.

Bahasa sangat penting dalam politik, sebagai aspek yang kuat dan terbuka, bahasa bisa digunakan baik oleh orang yang berkuasa maupun oleh orang biasa yang melawannya. Alasan kekuatan adalah bahasa karena bahasa bisa merubah pendapat orang. Bahasa bisa digunakan untuk mendalangi masyarakat, terutama dalam bidang politik sebab pidato atau argumen yang bagus bisa menyakinkan khalayak tentang isu-isu penting.

Walaupun bahasa penting dalam bidang politik, dalam penggunannya tidak selalu berhasil memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Hal itu mungkin karena bahasa politik terlalu jauh dari bahasa sehari-hari. Bahasa politik di Indonesia terlalu sering diwarnai jargon, plesetan, singkatan, semboyan, dan kebanyakan dimaksudkan untuk mengangkat citra diri sendiri dan/atau menjatuhkan lawan. Jargon politik mempengaruhi wacana politik, karena orang yang ingin mengambil bagian dalam debat umum, pasti harus tahu bagaimana mengunakan bahasa yang cocok. Alasan bahwa politikus berbicara dalam semboyan adalah karena lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan kalimat lengkap. Singkatan-singkatan lebih pendek dan sederhana, semboyan-semboyan lebih efektif dan ekonomis. Sayangnya, banyak semboyan dipakai terlalu sering dan menjadi klise.

Bahasa adalah kekuasan. ‘Politik adalah sesuatu seni, atau kegiatan untuk memperoleh kekuasaan dan merambah kekuasaan’. Politikus seharusnya menguasai bahasanya untuk alasan penting, karena siapapun menguasi bahasa akan mempunyai kekuasaan. Ada hubungan yang sangat kuat antara bahasa dan kekuasaan karena mereka yang mempunyai kekuasan bisa mengawasi media massa dan akibatnya mengawasi bahasa.
Pada akhirnya, tidak dapat kita pungkiri bahwa bahasa mempengaruhi politik dan politik mempengaruhi bahasa. Sebagaimana pendapat Aristoletes manusia merupakan seekor ”binatang politik” (politikon zoon, political animal), dan sebagai “binatang” yang memiliki kemampuan pikiran, akal, dan perasaan, kita telah pintar menerima bahasa politik. Jika maksud iklan politik ingin mengelabui rakyat, apa daya rakyat kini sudah kian pintar memilah dan memilih, atau malah rakyat kini sudah apatis dan apolitis.

Bahasa dan Media Massa

Keberadaan media dapat dijadikan sebuah parameter maju tidaknya kelompok masyarakat. Hal ini karena media massa menjalankan fungsi-fungsi informasi, hiburan, dan pendidikan. Media massa adalah situs yang sangat kuat untuk produksi dan sirkulasi makna-makna sosial. Media masa menyediakan jalan masuk ke berbagai informasi dan harus dipahami sebagai sebuah institusi kompleks. Institusi ini dicirikan sebagai seperangkat proses, praktik, dan konvensi tempat masyarakatdi dalamnya dikembangnya dalam konteks sosial dan budaya tertentu.

Peran media massa dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat negara berkembang telah dikemukakan oleh para pengamat antara lain yaitu penggunaan media massa sebagai tempat menunjukkan superioritas ideologi Barat, penciptaan wacana dominan bagi masyarakat timur yang terjajah, dan penciptaan rejim kebenaran bagi masyarakat-masyarakat di negara berkembang. Dengan kondisi tersebut terdapat dua pandangan yang perlu diketahui yakni pandangan positivisme dan pandangan konstruktivisme. Penting bagi masyarakat negara berkembang untuk menggunakan pandangan konstruktivisme dalam memperlakukan media massa. Pandangan ini menekankan bahwa kehadiran media massa adalah sebagai salah satu sumber informasi saja, bukan sebagai penyedia segala-gala informasi yang kita butuhkan.

Bahasa dalam hubungannya dengan media massa memperoleh lahan yang strategis untuk pengembangannya. Menuru Bell terdapat empat alas an ketertarikan pada bahasa media yaitu: media massa menyediakan sumber data kebahasaan; media massa meruakan institusi linguistik yang penting; bahasa yang digunakan sangat menarik; media massa merupakan institusi sosial yang penting. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahasa menduduki peran sentral bagi media dalam mengkonstruksi para pembaca atau pendengarnya.

Tanpa kita sadari, media massa yang berkembang saat ini berimbas pada banyak segi kehidupan antara lain pada bidang ekonomi seperti timbulnya kebiasaan konsumtif di seluruh lapisan masyarakat. Pada bidang budaya, gencarnya informasi dan cara pandang yang disuguhkan (dan kebanyakan berorientasi ke Barat) membuat generasi muda makin berkurang penghargaannya terhadap budaya lokal. Namun, tidak semua dampak media massa di Indonesia buruk. Dalam hal kebahasaan, perkembangan bahasa tidak lepas dari peran media massa. Bahasa Indonesia sendiri dapat tersebar luas dan biasa digunakan hingga pelosok negeri adalah salah satu sisi positif media massa. Selain itu, media massa yang sering menampilkan tayangan (hiburan, berita, dll) ikut andil pula dalam perkembangan bahasa asing di Indonesia.

Sayangnya, media massa kita saat ini cenderung menyuguhkan hal-hal yang sebenarnya kurang bermutu dan hanya mencari keuntungan dari berita-berita populer yang kosong. Contohnya televisi yang saat ini dipenuhi dengan sinetron, gossip, berita yang selalu diulang-ulang, hiburan, dan sebagainya. Koran juga tidak terlalu jauh berbeda, umumnya yang diungkap adalah berita-berita populer yang dilebih-lebihkan. Terlebih menjamurnya internet dengan kemudahan pengaksesan data yang begitu cepet dalam sekali “klik” dengan kontrol yang kurang dari banyak pihak juga memberi andil besar terhadap perkembangan generasi muda. Untuk itu bom waktu yang sedang mempersiapkan diri untuk meledak ini harus kita hentikan perkembangannya. Salah satu cara termudah kita adalah selektif memilih tontonan, bacaan, serta memanfaatkan teknologi seefektif dan seberguna mungkin.

Bahasa dan Kelompok Etnik

Etnik mengacu pada kelompok yang keanggotaanya berdasarkan asal-usul keturunan. Kelompok demikian ditandai dengan ciri-ciri fisik yang relatif tetap, seperti warna kulit, rambut, hidung, dan sebagainya. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku (a/l suku Batak) dan dibawah suku seringkali terdapat sub suku (misalnya pada suku Batak terdapat Batak Karo, Dairi, Pak-Pak).

Bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: bahasa daerah adalah alat identitas suku. Dalam bahasa Indonesia terdapat pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, jika pepatah ini dimaknai secara harafiah berarti bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan dari kelompok (etnis/suku/daerah) apa orang tersebut berasal. Namun, ternyata pendapat ini belum tentu benar: tidak selalu bahasa menunjukkan bangsa, apalagi jika ukuran bangsa ditentukan oleh politik yang menyebabkan pengertian bangsa menjadi kabur.

Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam kebahasaan seseorang, misalnya seorang keturunan Bali akan dapat dengan lancar berbahasa Jawa jika lingkungan tempatnya tinggal (dalam kurun waktu tertentu) menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Cara orang berbicara bukan disebabkan oleh ras/sukunya karena seorang penutur akan terbawa dan mengikuti ciri linguistik orang-orang yang hidup rapat dengannya. Jadi perbedaan pola tutur bukan disebabkan oleh struktur fisik melainkan oleh lingkungan bahasa. Pola tutur yang diambil ialah pola dominan yang terdapat dalam lingkungan itu. Fakta lain adalah tidak ada jaminan kelompok-kelompok manusia yang tergolong dalam satu ras menggunakan bahasa serumpun.

Meski tidak selalu ada hubungan antara bahasa dengan ras, tetapi dalam banyak hal bahasa merupakan faktor penting (ciri linguis merupakan kriteria pembatas yang paling penting untuk dari keanggotaan etnik). Hubungan antara bahasa dan etnik merupakan hubungan sederhana yang bersifat kebiasaan, yang dipertegas oleh rintangan social antarkelompok, dengan bahasa sebagai ciri pengenal utama. Pada umumnya orang akan menyatakan diri sebagai anggota sesuatu etnik atau suku tertentu dengan ciri penting bahasa ibunya. Etnik memperhatikan keterpisahan dan identitas mereka melalui bahasa, meskipun terdapat ciri-ciri lain (misalnya fisik, agama, sejarah, adat istiadat, dll).

Ragam bahasa sebenarnya hanya berupa suatu kecenderungan dan seluruhnya terdiri dari perbedaan kosakata: kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu. Contohnya dalam berbahasa Indonesia kadang penutur masih dipengaruhi oleh bahasa daerahnya sehingga menggambarkan ragam tertentu. Ciri tersebut dapat dilihat dari penggunaan/pelafalan fonem tertentu. Ciri linguis yang menandai etnik cenderung digunakan oleh orang-orang yang tinggal di suatu daerah, dan hal itu kemudian menjadi dasar perbedaan dialek geografis. Jadi terdapat korelasi antara perbedaan etnik dengan ciri fonologi.

Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Hal ini disebabkan beberapa etnik membentuk masyarakat sehingga terciptalah sebuah masyarakat majemuk (prulal society). Keanekabahasaan biasanya membawa masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama yang termasuk minoritas bahasa), pemerintah, dan dunia pendidikan. Masalah bagi individu ialah mereka harus menguasai minimal dua bahasa sebelum mereka dapat berfungsi secara penuh dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Keberhasilan penguasaan bahasa tersebut salah satunya bergantung pada motivasi yang mereka miliki. Ada dua macam motivasi yaitu motivasi instrumental (bahasa sebagai alat untuk mencapai sesuatu) dan motivasi integrasi (bahasa dapat menentukan hidup di masa datang). Masalah dalam bidang pemerintahan adalah terlibatnya bahasa sebagai alat politik, baik untuk mematikan etnik tertentu atau untuk mencapai kemerdekaan sebuah etnik.

Tidak dapat dipungkiri keberagaman etnik menimbulkan masalah kebahasaan. Bangsa Indonesia sedikit banyak telah mengatasi permasalahan tersebut dengan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, karena pada kenyataannya Indonesia adalah salah satu negara terkaya dari segi keberagaman bahasa.

Bahasa dan Kelas Sosial

Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih dari satu status sosial.
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.

Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).

Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.

Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.
*(sebagian resume dari: Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.)

Kamis, 19 November 2009

rasa ini

rasa ini tumbuh dengan sederhana
bersama tulus yang dialirkan udara pada nafas
yang setia meski berubah...

rasa ini tumbuh dengan sederhana
bersama diam yang diteguhkan tanah pada langkah
yang tak lelah meski terlupa...


nb: bukan niat beta mencuri.. tapi gara2 jatuh cinta sampai mati pada puisi 'Aku Ingin'nya Sapardi..

Selasa, 03 November 2009

Bahasa dan Kelompok Etnik

Etnik mengacu pada kelompok yang keanggotaanya berdasarkan asal-usul keturunan. Kelompok demikian ditandai dengan ciri-ciri fisik yang relatif tetap, seperti warna kulit, rambut, hidung, dan sebagainya. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku (a/l suku Batak) dan dibawah suku seringkali terdapat sub suku (misalnya pada suku Batak terdapat Batak Karo, Dairi, Pak-Pak).
Bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: bahasa daerah adalah alat identitas suku. Dalam bahasa Indonesia terdapat pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, jika pepatah ini dimaknai secara harafiah berarti bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan dari kelompok (etnis/suku/daerah) apa orang tersebut berasal. Namun, ternyata pendapat ini belum tentu benar: tidak selalu bahasa menunjukkan bangsa, apalagi jika ukuran bangsa ditentukan oleh politik yang menyebabkan pengertian bangsa menjadi kabur.
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam kebahasaan seseorang, misalnya seorang keturunan Bali akan dapat dengan lancar berbahasa Jawa jika lingkungan tempatnya tinggal (dalam kurun waktu tertentu) menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Cara orang berbicara bukan disebabkan oleh ras/sukunya karena seorang penutur akan terbawa dan mengikuti ciri linguistik orang-orang yang hidup rapat dengannya. Jadi perbedaan pola tutur bukan disebabkan oleh struktur fisik melainkan oleh lingkungan bahasa. Pola tutur yang diambil ialah pola dominan yang terdapat dalam lingkungan itu. Fakta lain adalah tidak ada jaminan kelompok-kelompok manusia yang tergolong dalam satu ras menggunakan bahasa serumpun.
Meski tidak selalu ada hubungan antara bahasa dengan ras, tetapi dalam banyak hal bahasa merupakan faktor penting (ciri linguis merupakan kriteria pembatas yang paling penting untuk dari keanggotaan etnik). Hubungan antara bahasa dan etnik merupakan hubungan sederhana yang bersifat kebiasaan, yang dipertegas oleh rintangan social antarkelompok, dengan bahasa sebagai ciri pengenal utama. Pada umumnya orang akan menyatakan diri sebagai anggota sesuatu etnik atau suku tertentu dengan ciri penting bahasa ibunya. Etnik memperhatikan keterpisahan dan identitas mereka melalui bahasa, meskipun terdapat ciri-ciri lain (misalnya fisik, agama, sejarah, adat istiadat, dll).
Ragam bahasa sebenarnya hanya berupa suatu kecenderungan dan seluruhnya terdiri dari perbedaan kosakata: kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu. Contohnya dalam berbahasa Indonesia kadang penutur masih dipengaruhi oleh bahasa daerahnya sehingga menggambarkan ragam tertentu. Ciri tersebut dapat dilihat dari penggunaan/pelafalan fonem tertentu. Ciri linguis yang menandai etnik cenderung digunakan oleh orang-orang yang tinggal di suatu daerah, dan hal itu kemudian menjadi dasar perbedaan dialek geografis. Jadi terdapat korelasi antara perbedaan etnik dengan ciri fonologi.
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Hal ini disebabkan beberapa etnik membentuk masyarakat sehingga terciptalah sebuah masyarakat majemuk (prulal society). Keanekabahasaan biasanya membawa masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama yang termasuk minoritas bahasa), pemerintah, dan dunia pendidikan. Masalah bagi individu ialah mereka harus menguasai minimal dua bahasa sebelum mereka dapat berfungsi secara penuh dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Keberhasilan penguasaan bahasa tersebut salah satunya bergantung pada motivasi yang mereka miliki. Ada dua macam motivasi yaitu motivasi instrumental (bahasa sebagai alat untuk mencapai sesuatu) dan motivasi integrasi (bahasa dapat menentukan hidup di masa datang). Masalah dalam bidang pemerintahan adalah terlibatnya bahasa sebagai alat politik, baik untuk mematikan etnik tertentu atau untuk mencapai kemerdekaan sebuah etnik.

Tidak dapat dipungkiri keberagaman etnik menimbulkan masalah kebahasaan. Bangsa Indonesia sedikit banyak telah mengatasi permasalahan tersebut dengan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, karena pada kenyataannya Indonesia adalah salah satu negara terkaya dari segi keberagaman bahasa. Dengan adanya bahasa persatuan pula, Indonesia terhindar dari permasalahan-permasalahan politis yang berdasarkan bahasa. Untuk itu, sangat disayangkan apabila sekarang penggunaan bahasa indonesia di kalangan generasi muda melemah.

Selasa, 13 Oktober 2009

ragam bahasa indonesia

Kemarin nggak sengaja aku membuka sebuah blog yang unik, nasionalis banget… Pada deskripsi judul blognya tercantum sumpah pemuda, hhhmmm saluuutt!
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indoesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Akhirnya kepikiran dweeh cari informasi tentang bahasa Indonesia, dan inilah hasilnya…..

RAGAM BAHASA INDONESIA
RAGAM BAKU
Istilah baku (standard) mengacu pada tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas dan kualitas dan yang diterapkan berdasarkan kesepakatan. Pada dasarnya ragam baku secara linguistic atau secara kebahasaan adalah dialek juga,baik dialek regional maupun dialek sosial. Ragam tersebut menjadi baku karena memiliki prestise sosial tertentu. Prestise mungkin diperoleh karena suatu dialek itu mempunyai peranan penting di kalangan masyarakat luas. Dialek itu menjadi semacam lingua franca di kalangan masyarakat, dan fungsi penting inilah rupanya yang menyebabkan dialek itu menjadi baku.
Jadi ragam baku = dialek + prestise.
Variasi dalam Ragam Baku
Dalam ragam baku juga terdapat kemungkinan akan adanya variasi. Contohnya ragam baku dalam bahasa lisan (BL) dan bahasa tulis (BT), BL umumnya lebih mudah diidentifikasi karena relative lebih stabil dari pada BL. BL lebih kurang stabil karena pelafalannya yang seolah berayun sehingga sulit mendapatkan titik yang pasti.
Ragam Baku dan Ragam Umum
Ragam baku tidak selalu umum dan ragam umum tidak selalu baku. Kehidupan masyarakat yang majemuk dengan tingkat pendidikan yang tidak merata menyebabkan penggunaan bahasa baku kurang berkembang. Kaidah yang dipakai masyarakat umum kadang berbeda dengan standar kaidah yang telah ditetapkan.
Ragam Baku dan Nonbaku
Secara keseluruhan ragam baku itu hanya ada satu dalam sebuah bahasa, dengan kata lain ragam-ragam selebihnya (termasuk dialek) merupakan ragam nonbaku. Dari sudut kebahasaan, terdapat perbedaan antara ragam baku dan nonbaku antara lain tata bunyi, tata bentukan, kosa kata, dan tata kalmat. Dalam BI ejaan yang diakui baku adalah EYD, sehingga penulisan yang tidak sesuai dengan EYD adalah ejaan nonbaku. Sayangnya dalam BI belum ada pengaturan yang tuntas mengenai pelafalan, sehingga batas antara baku dan nonbaku masih agak kabur meski tetap ada batas-batas tertentu yang memisahkan keduanya.
Ciri-ciri Ragam Baku
• Karena ragam baku berasal dari dialek, maka jumlah penutur asli (native speaker) bahasa baku lebih sedikit dibandingkan penutur bahasa.
• Ragam baku merupakan ragam yang biasanya diajarkan pada orang lain yang bukan penutur asli bahasa tersebut.
• Ragam baku mampu memberi jaminan kepada pemakainya bahwa ujaran yang dipakai kelak dapat dipahami oleh masyarakat luas, lebih luas dari pada jika dia memakai dialek regional.
• Sepanjang ragam tersebut menyangkut ragam baku dalam bahasa nasional atau bahasa resmi, biasanya ragam itu dipakai oleh kalangan terpelajar, kalangan cendikiawan dan ilmuwan, atau setidaknya dalam karya tulis ilmiah.
• Ragam baku mempunyai bentuk-bentuk kebahasaan tertentu yang membedakannya dengan ragam-ragam lain. Ciri kebahasaan itu dalam bahasa baku pasti dan dipakai secara ajeg (konsisten).
Permasalahan yang muncul saat ini adalah semakin jarangnya penggunaan bahasa baku di kalangan pemuda dan pelajar. Bahkan, semakin sering ditemui dalam konteks formal seperti dalam kelas saat perkuliahan, siswa cenderung menggunakan ragam akrab untuk berkomunikasi. Terlebih lagi dengan datangnya era globalisasi, bahasa asing menyerbu bangunan kebahasaan kita yang masih rapuh, dan yang mengkhawatirkan adalah pengguna bahasa kebanyakan menganggap bahasa asing (contoh, bahasa Inggris) lebih memiliki prestise dari pada bahasa Indonesia, terlebih bahasa ibu.
Akankah nasib bahasa persatuan kita sama seperti berbagai bahasa daerah yang hilang ditelan waktu?
Dari: Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

Minggu, 11 Oktober 2009

hmmm....
ternyata niat tak selamanya berjalan mulus....
niat yang melayang di benakku waktu bikin blog ini melaksa, sampai2 bingung mengingatnya....
kesibukan mulai mengejar lagi setelah hari raya,
semangat,
optimis,
tersenyum....

epriting is gone bi olret.... :-)

Senin, 14 September 2009

Model-model Komunikasi

MODEL-MODEL KOMUNIKASI

Oleh:

Nurlayla (107211410516)

Model komunikasi digunakan untuk memahami fenomena komunikasi. Model merupakan sebuah representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting dalam fenomena tersebut. Sereno dan Mortensen mendefinisikan model komunikasi sebagai deskripsi ideal mengenai piranti-piranti yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Model adalah teori yang disederhanakan, gambaran informal untuk menggambarkan atau menerapkan teori.

A. Fungsi dan Manfaat Model

Model dapat berfungsi sebagai basis bagi teori yang lebih kompleks, alat untuk menjelaskan dan menerapkan teori serta membuat pengguna menemukan cara untuk memperbaiki konsep-konsep. Tiga fungsi model komunikasi menurut Gordon Wiseman dan Larry Barker adalah melukiskan proses komunikasi, menunjukkan hubungan visual, serta membantu dalam menemukan dan memperbaiki kemacetan komunikasi.

Deutsch mengemukakan empat fungsi model yaitu: mengorganisasikan kemiripan data dan hubungan yang tadinya tidak teramati; heuristik (menunjukkan fakta-fakta dan metode baru yang tidak diketahui); prediktif (memungkinkan peramalan dalam berbagai tipe); dan pengukuran (mengukur fenomena yang diprediksi). Pada akhirnya fungsi-fungsi tersebut dapat dijadikan dasar penilaian suatu model.

Manfaat model antara lain adalah sebagai kerangka rujukan untuk memikirkan masalah. Karakter kegagalan model bisa jadi memberikan petunjuk mengenai kekurangan model tersebut. Menurut Bross keuntungan lain pembuatan model adalah terbukanya problem abstraksi. Mengingat rumitnya dunia nyata, suatu tingkat abstraksi dibutuhkan untuk mengambil keputusan.

B. Tipologi model

Berikut ini taksonomi model menurut Gerhard J. Hanneman dan William J. McEwen.


Model mental mempresentasikan proses mental internal. Model simbolik menggunakan simbol-simbol sebagai wujud presentasi, yang terdiri dari model matematik (misalnya E=mc2) yang lazim digunakan dalam mempelajari atau mengembangkan ilmu pasti dan model verbal. Model verbal adalah model atau teori yang dinyatakan dengan kata-kata. Model verbal kadang kala mengalami kendala keterbatasan bahasa sehingga model ini sering dibantu dengan grafik, diagram, atau gambar. Model ini dapat digunakan untuk menyatakan hipotesis atau menyajikan hasil penelitian, contoh yang sering kita jumpai adalah model stuktur organisasi.

Model fisik terbagi dua yaitu model ikonik (penampilan umum menyerupai objek yang dimodelkan) dan model analog (mempunyai fungsi yang menyerupai objek meski penampilannya tidak menyerupai objek yang dimodelkan). Dengan adanya model fisik, ilmuwan dapat mempelajari fenomena lewat model yang mempresentasikannya. Model umumnya lebih sederhana dibandingkan objek sebenarnya, hal ini juga menimbulkan bahaya oversimplifikasi. Bahaya lain penggunaan model adalah keterikatan yang berlebihan antara ilmuwan dan modelnya. Kebermanfaatan model dapat dikaji melalui perbandingan kinerja objek dengan kinerja replikanya.

Pembuatan model merupakan upaya penting dalam memajukan ilmu pengetahuan sehingga model-model yang tercipta harus lulus pengujian jika diterapkan kapan pun dan oleh siapa pun. Bross menggambarkan interaksi model dan data sebagai berikut.

Model 1

Model 2

Model 3


DUNIA SIMBOLIK

Evaluasi:

O.K.

Evaluasi:

Tidak Baik

Evaluasi:

Buruk


_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

Data

Data Baru

Data Baru

Data Baru


DUNIA NYATA

Seperti juga teori, model dapat diterima sepanjang belum dinyatakan keliru berdasarkan data terbaru yang ditemukan di lapangan. Model yang baik biasanya telah melewati banyak ujian dan selalu dapat berkembang. Hal tersebut berlaku pada model komunikasi yang digunakan untuk menjelaskan fenomena yang diamati. Oleh karena sifat fenomena sosial yang sangat cair, dinamis, dan berubah-ubah, pembuatan model komunikasi menjadi lebih sulit.

C. Model-Model Komunikasi

Penggunaan model adalah untuk mengidentifikasi unsur-unsur komunikasi dan hubungan antara unsur-unsur tersebut. Beberapa model komunikasi adalah:

· Model S – R

Model stimulus—respon (S—R) merupakan model komunikasi paling dasar yang dipengaruhi oleh disiplin psikologi.


Stimulus Respon

Komunikasi dalam model ini dipandang sebagai proses aksi—reaksi yang sangat sederhana. Model S—R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan—tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar, dan tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. Proses ini dapat bersifat timbal-balik dan mempunyai banyak efek. Setiap efek dapat mengubah tindakan komunikasi berikutnya. Model S—R mengabaikan fakta komunikasi sebagai suatu proses, bahwa perilaku (respon) manusia dapat diramalkan dan komunikasi dianggap statis.

· Model Aristoteles

Model Aristoteles sering juga disebut model retoris. Model ini adalah rumusan komunikasi verbal pertama, yakni komunikasi terjadi ketika seorang pembicara menyampaikan pembicaraannya kepada khalayak dalam upaya mengubah sikap mereka. Tiga unsur dasar proses komunikasi adalah pembicara (speaker), pesan (message), dan pendengar (listener).


Fokus model ini adalah telaah komunikasi retoris yang kini dikenal dengan komunikasi publik. Menurut Aristoteles persuasi dalam komunikasi publik bergantung pada siapa Anda (etos—keterpercayaan Anda), argumen Anda (logos—logika dalam pendapat Anda), dan dengan memainkan emosi khalayak (phatos—emosi khalayak).

Kelemahan model ini adalah bahwa komunikasi dianggap fenomena yang statis dan tidak dibahasnya aspek-aspek nonverbal dalam persuasi.

· Model Lasswell

Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan sebagai :
Siapa (who)
Bicara apa (says what)
Pada saluran mana (in which channel)
Kepada siapa (to whom)
Dengan pengaruh apa (with what effect)

Lasswell juga mengungkapkan tiga fungsi komunikasi yaitu pengawasan lingkungan, korelasi berbagai bagian terpisah dalam masyarakat yang merespon lingkungan, dan transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi lainnya.

Lasswell mengakui bahwa tidak semua komunikasi berlangsung dua arah, dengan suatu aliran yang lancar dan umpan balik yang terjadi antara pengirim dan penerima. Model ini sering digunakan dalam komunikasi massa, dan mengisyaratkan bahwa pesan dapat dibawa oleh lebih dari satu saluran. Para ahli menganggap model ini terlalu menyederhanakan masalah.

· Model Shannon dan Weaver

Model ini muncul pada tahun 1949, terinspirasi oleh pertanyaan “apa yang terjadi pada informasi sejak saat dikirim hingga diterima?” mereka menawarkan model komunikasi berikut ini:

Information

Source Transmitter Mesaage Destination


Noise Source

Model ini menyoroti problem penyampaian pesan berdasarkan tingkat kecermatannya. Model Shannon dan Weaver melukiskan suatu sumber yang menyandi atau menciptakan pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran kepada seorang penerima yang menyandi balik atau mencipta ulang pesan tersebut. Salah satu konsep penting dalam model ini adalah gangguan (noise), yakni setiap rangsangan tambahan dan tidak dikehendaki dapat mengganggu kecermatan pesan yang disampaikan. Saat ini gangguan tersebut tidak sebatas pada eksternal sumber pesan tapi juga factor internal seperti gangguan fisik dan psikologis.

· Model Schramm

Schramm 1

Source Encoder Signal Decoder Destination


Oval: messageSchramm 3


Model ketiga Schramm menganggap komunikasi sebagai interaksi dengan kedua pihak yang menyandi, menafsirkan, menyandi-balik, mentransmisikan, dan menerima sinyal. Dalam model ketiga kita dapat melihat umpan balik dan lingkaran yang berkelanjutan untuk berbagi komunikasi. Dalam proses penyandian, pengalaman penyandi dan penerima sangat berpengaruh dalam proses komunikasi. Apabila antara keduanya memiliki wilayah pengalaman yang sama dalam jumlah besar, kemungkinan yang terjadi adalah lancarnya prowess komunikasi. Dalam model ketiga juga jelas terlihat bahwa setiap orang dalam proses komunikasi berperan sebagai encoder sekaligus decoder.

· Model Newcomb (Model ABX atau Model Simetri)

Newcomb memandang komunikasi dari prespektif psikolog social, terutama berkaitan dengan interaksi manusia. Model ini menyajikan bentuk yang paling sederhana dari kegiatan komunikasi, seseorang ( A ) menyampaikan informasi kepada orang lain ( B ) mengenai sesuatu (X). Model ini menyatakan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan terhadap X adalah saling bergantung dan ketiganya membentuk sistem yang meliputi empat orientasi.

X X X

+ + + -

A B A + B A - B

1. Orientasi A terhadap X, yang meliputi sikap terhadap X sebagai objek yang harus didekati atau dihindari dan atribut kognitif (kepercayaan dan tatanan kognitif)

2. Orientasi A terhadap B

3. Orientasi B terhadap X

4. Orientasi B terhadap A

Simetri dimungkinkan karena seseorang (A) yang siap memperhitungkan sikap seseorang lainnya (B). simetri juga mengesahkan orientasi seseorang terhadap X. Dengan kata lain, bila A dan B mempunyai sikap positif satu sama lain terhadap X, maka hubungan itu merupakan simetri. Bila A dan B saling membenci, dan salah satu menyukai X sedangkan lainnya tidak, hubungan itu juga merupakan simetri. Akan tetapi jika A dan B saling menyukai namun mereka tidak sependapat mengenai X atau jika mereka saling membenci namun sependapat mengenai X, maka hubungan mereka bukan simetri. Pada model Newcomb ini komunikasi merupakan cara yang biasa dan efektif dimana orang-orang mengorientasikan dirinya terhadap lingkungannya.

· Model Westley dan MacLean

Model yang dicetuskan sekitar tahun 1957 ini mencakup komunikasi antarpribadi dan komunikasi massa, dan memasukkan umpan balik sebagai bagian integral dari proses komunikasi. Umpan balik dari penerima bersifat segera dalam komunikasi antarpribadi, sementara dalam komunikasi massa bersifat minimal atau tertunda.

Dalam model ini terdapat lima unsur yaitu objek orientasi (X), pesan (X’), sumber (A), penerima (B), dan umpan balik (fBA). Westley dan MacLean juga menambahkan suatu unsur lain yaitu “penjaga gerbang” (C) atau pemimpin pendapat (opinion leader) yang menerima pesan (X’) dari sumber (bisa juga menyoroti objek orientasi) dalam lingkungannya. Berdasaran X’ yang telah didapat, penjaga gerbang kemudian menciptakan pesannya sendiri (X”) yang ia kirimkan pada penerima (B). Maka terbentuklah suatu sistem penyaringan, karena penerima tidak mendapat pesan langsung adri sumbernya melainkan dari orang lain.

Model Westley dan MacLean juga membedakan pesan yang bertujuan (purposif) dengan pesan yang tidak bertujuan (nonpurposif). Pesan yang bertujuan adalah pesan yang dikirimkan sumber untuk mengubah citra penerima mengenai sesuatu dalam lingkungan. Sedangkan pesan yang tidak bertujuan adalah pesan yang dikirimkan sumber kepada penerima secara langsung atau melalui penjaga gerbang tapi tidak dimaksdukan untuk mempengaruhi penerima.

· Model Gerbner

Model ini merupakan perluasan dari model Lasswell yang terdiri dari model verbal dan model diagramatik. Model verbal Gerbner adalah sebagai berikut:

1. Seseorang (sumber, komunikator)|

2. Mempresentasikan suatu kejadian

3. Dan bereaksi

4. Dalam suatu situasi

5. Melalui suatu alat (saluran; media; rekayasa fisik; dll)

6. Untuk menyediakan materi

7. Dalam suatu bentuk

8. Dan konteks

9. Yang mengandung isi

10. Yang mempunyai suatu konsekuensi.

Sementara itu model diagramatik Gerbner adalah seperti berikut:

Encode

Source Transmitter Receiver Destination


Message Signal Sig. rec’d. Message rec’d.

Noise Source



Transmitter


message sent

message received

Signal sent

Jadi, model ini menunjukkan bahwa seseorang mempersepsi suatu kejadian dan mengirimkan pesan kepada suatau transmitter yang pada gilirannya mengirimkan sinyal pada penerima; dalam transmisi itu sinyal menghadapi gangguan dan muncul sebagai SSSE bagi sasaran.

· Model Berlo (Model S-M-C-R)

Rumus S-M-C-R adalah singkatan dari istilah-istilah : S singkatan dari Source yang berarti sumber atau komunikator ; M singkatan dari Message yang berarti pesan ; C singkatan dari Channel yang berarti saluran atau media, sedangkan R singkatan dari Receiver yang berarti penerima atau komunikan.

Khusus mengenai istilah Channel yang disingkat C pada rumus S-M-C-R itu yang berarti saluran atau media, komponen tersebut menurut Edward Sappir mengandung dua pengertian, yakni primer dan sekunder. Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya bahasa, kial (gesture), gambar atau warna, yaitu lambang-lambang yang dieprgunakan khusus dalam komunikasi tatap muka face-to-face communication), sedangkan media sekunder adalah media yang berwujud, baik media massa, misalnya surat kabar, televisi atau radio, maupun media nir-massa, misalnya, surat, telepon atau poster. Jadi, komunikator pada komunikasi tatap muka hanya menggunakan satu media saja, misalnya bahasa, sedangkan pada komunikasi bemedia seorang komunikator, misalnya wartawan, penyiar atau reporter menggunakan dua media, yakni media primer dan media sekunder, jelasnya bahasa dan sarana yang ia operasikan.

Kelebihan model Berlo adalah model ini tidak terbatas pada komunikasi massa, tapi juga mencakup komunikasi antarpribadi dan berbagai bentuk komunikasi tertulis. Sedangkan keterbatasan model ini adalah meski menganggap komunikasi sebagai proses, model Berlo menyajikan komunikasi sebagai fenomena yang statis.

· Model DeFleur

Model ini lebih menyoroti komunikasi massa dari pada komuniaksi antarpribadi dan merupakan perluasan dari beberapa model sebelumnya. DeFleur memasukkan unsur perangkat media massa (mass medium device) dan perangkat umpan balik (feedback device).


Fungsi receiver dalam model ini adalah menerima informasi dan menyandi balik—mengubah peristiwa fisik informasi menjadi pesan (sistem simbol yang signifikan). Menurut DeFleur komunikasi terjadi lewat operasi seperangkat komponen dalam suatu sistem teoretis.

· Model Tubbs

Model ini menggambarkan komunikasi dua orang (diadik). Model Tubbs sesuai dengan konsep komunikasi sebagai transaksi. Ketika kita berbicara (mengirimkan pesan), sebenarnya kita juga mengamati perilaku mitra bicara kita dan kita bereaksi terhadap perilaku yang kita lihat tersebut. Proses ini bersifat timbale balik atau saling mempengaruhi.

Model Tubbs menggambarkan komunikasi sebagai proses yang sinambung, tanpa awal dan tanpa akhir. Pesan dalam model ini dapat berupa pesan verbal, juga nonverbal, bisa disengaja ataupun tidak disengaja. Salurannya adalah alat indra, terutama pendengaran, penglihatan, dan perabaan. Gangguan dalam model Tubbs terbagi menjadi dua yaitu gangguan teknis dan gangguan semantis.

· Model Gudykunst dan Kim

Model ini sebenarnya merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya berlainan, atau komunikasi dengan orang asing. Meskipun model ini juga tetap berlaku pada setiap orang, karena pada adsarnya tiak ada dua orang yang mempunyai latar budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya yang persis sama.

Pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyampaikan maupun menyandi balik pesan. Pengaruh budaya dalam moel ini meliputi faktor-faktor yang yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, sikap terhadap manusia, dsb. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai, norma, dan aturan dalam perilaku komunikasi kita.

Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan mempengaruhi kita dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Oleh karena itu, antara dua orang komunikator mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda terhadap lingkungan, mereka mungkin menafsirkan perilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi yang sama.

· Model interaksional

Model ini memiliki karakter yang kualitatif, nonsistemik, dan nonlinier. Komunikasi digambarkan sebagai pembentukan makna (penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain) oleh para peserta komunikasi. Beberapa konsep penting yang digunakan adalah diri (self), diri yang lain (other), simbol, makna, penafsiran, dan tindakan. Menurut model interaksi simbolik, orang-orang sebagai peserta komunikasi bersifat aktif, reflektif dan kreatif, dan menampilkan perilaku yang sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif, dalam konteks ini Blumer mengemukakan tiga premis yang menjadi dasar model Interaksional. Pertama, manusia bertindak mengenai makna yang diberikan individu terhadap lingkungan sosialnya. Kedua, makna berhubungan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan individu dengan lingkungan sosialnya. Ketiga, makna diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui proses penafsiran dilakukan individu dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

KESIMPULAN

Model komunikasi digunakan untuk memahami fenomena komunikasi. Model dapat berfungsi sebagai basis bagi teori yang lebih kompleks, alat untuk menjelaskan dan menerapkan teori serta membuat pengguna menemukan cara untuk memperbaiki konsep-konsep. Taksonomi model secara umum dijelaskan dalam taksonomi model Gerhard J. Hanneman dan William J. McEwen. Model komunikasi dapat diterima sepanjang belum dinyatakan keliru berdasarkan data terbaru yang ditemukan di lapangan.

Daftar Rujukan

· Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

· Nursidik, Yahya. 2009. Perbedaan Aspek dalam Komunikasi. www.apadefinisinya.blogspot.com.

·