Istilah “bahasa perempuan” (women’s language) diasumsikan memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dengan bahasa laki-laki. Fenomena bahasa dan jenis kelamin dapat diperjelas dengan tiga metode yaitu penjelasan sosiobiologis, sosiopsikologis, dan sosiopolitis. Penjelasan sosiobiologis pada manusia berdasarkan suara antara laki-laki dan perempuan. Karakteristik paling khas laki-laki berasal dari “hukum pertarungan”. Vokalisasi suara laki-laki dirancang agar terkesan agresif dan mengancam dalam medan persaingan.
Penjelasan sosiopsikologis memasukkan konsep jender yang merupakan atribut psikologis yang membentuk sebuah kontinum dari sangat maskulin hingga sangat feminine. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa seseorang bias bersifat “agresif” (dinilai sifat maskulin) sekaligus “penuh kasih sayang” (dianggap lebih diinginkan secara social pada perempuan). Berdasarkan penjelasan sosiopolitis para feminis sering menyatakan bahwa wujud sifat alami yang melingkupi sedemikian banyak aspek gender memiliki implikasi-implikasi politis yang penting. Adanya stereotype suara perempuan dianggap feminine dan laki-laki dianggap maskulin akan sangat merugikan perempuan.
Beberapa teori tentang bahasa dan jender antara lain teori dominasi yang menawarkan penjelasan tentang perbedaan bahasa perempuan dan laki-laki berkenaan dengan kekuasaan. Banyak kasus yang mendukung teori ini, misalnya pengalaman dalam dunia bisnis. Perempuan sering mengalami kesulitan dalam menuntut hak suaranya dan sering diinterupsi dalam percakapan serta pendapat yang dikemukakan hanya dianggap angin lalu. Kelemahan dalam teori ini adalah anggapan bahwa perempuan adalah “korban” ketidakberdayaan sedangkan laki-laki dipandang bersifat “merusak”, “mengeluarkan”, dan “merendahkan” perempuan. Pada kenyataannya kedua kelemahan tersebut memang tidak terbukti di masyarakat.
Kedua teori perbedaan, teori ini memilki beberapa jawaban atas kelemahan teori dominasi. Menurut teori ini dalam kenyataannya perempuan dan laki-laki mengembangkan gaya-gaya berbicara atau bertutur yang berbeda, mereka terpisah dalam tahap penting kehidupan mereka. Teoti ini menjelaskan bahwa perempuan menginginkan hubungan-hubungan kolaborasi, keintiman, kesamaan, pemahaman, dukungan, dan pendekatan. Sebaliknya, lak-laki menuntut dugaan orang menempatkan sebuah harga dari status dan kemerdekaan sebagai sesuatu yang penting, dan kurang berkenan dengan perselisihan dan ketdaksamaan yang terus terang dalam hubungan mereka.
Pada dasarnya memang perempuan berbeda dengan laki-laki, stuktur hormonal juga mungkin memiliki pengaruh terhadap gaya seseorang termasuk gaya berbicara dan gaya bahasa yang digunakan. Yang belum sempat tersentuh dalam sumber ini adalah perbedaan bahasa kepenulisan antara laki-laki dan perempuan. Menurut saya terdapat perbedaan yang sangat kentara dalam penggunaan bahasa antara pengarang perempuan dan laki-laki dan sedikit bertolak belakang dengan teori yang ada terutama teori dominasi.
dunia kecil berpendar di sekelilingku tentang kisah cinta luka dan tawa tentang dunia dan manusia tentang tugas-tugas melelahkan menyenangkan tentang puisi dan aku
Selasa, 29 Desember 2009
Bahasa dan Politik
Dalam permainan politik, bahasa adalah senjata. Ini menunjukkan bagaimana pentingnya bahasa berkaitan dengan politik. Seperti George Orwell sudah menulis, ‘Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan kelihatan jujur dan pembunuhan sopan’. Tetapi bahasa dalam politik tidak selalu jadi jahat karena bahasa sebagai alat yang sama digunakan baik oleh politikus maupun aktivis. Alat ini bisa digunakan untuk menbujuk, memberitahu dan mencela. Hal ini berkaitan dengan bagaimana pemerintah menyakinkan masyarakat tentang kebijaksanaannya, dan juga bagaimana masyarakat menanggapi keputusan itu.
Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Konflik kepentingan diatasi dan naluri saling mendominasi ditangani. Kampanye pemilu merupakan bagian politik mikro. Bahasa kampanye, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa kampanye bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif.
Bahasa sangat penting dalam politik, sebagai aspek yang kuat dan terbuka, bahasa bisa digunakan baik oleh orang yang berkuasa maupun oleh orang biasa yang melawannya. Alasan kekuatan adalah bahasa karena bahasa bisa merubah pendapat orang. Bahasa bisa digunakan untuk mendalangi masyarakat, terutama dalam bidang politik sebab pidato atau argumen yang bagus bisa menyakinkan khalayak tentang isu-isu penting.
Walaupun bahasa penting dalam bidang politik, dalam penggunannya tidak selalu berhasil memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Hal itu mungkin karena bahasa politik terlalu jauh dari bahasa sehari-hari. Bahasa politik di Indonesia terlalu sering diwarnai jargon, plesetan, singkatan, semboyan, dan kebanyakan dimaksudkan untuk mengangkat citra diri sendiri dan/atau menjatuhkan lawan. Jargon politik mempengaruhi wacana politik, karena orang yang ingin mengambil bagian dalam debat umum, pasti harus tahu bagaimana mengunakan bahasa yang cocok. Alasan bahwa politikus berbicara dalam semboyan adalah karena lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan kalimat lengkap. Singkatan-singkatan lebih pendek dan sederhana, semboyan-semboyan lebih efektif dan ekonomis. Sayangnya, banyak semboyan dipakai terlalu sering dan menjadi klise.
Bahasa adalah kekuasan. ‘Politik adalah sesuatu seni, atau kegiatan untuk memperoleh kekuasaan dan merambah kekuasaan’. Politikus seharusnya menguasai bahasanya untuk alasan penting, karena siapapun menguasi bahasa akan mempunyai kekuasaan. Ada hubungan yang sangat kuat antara bahasa dan kekuasaan karena mereka yang mempunyai kekuasan bisa mengawasi media massa dan akibatnya mengawasi bahasa.
Pada akhirnya, tidak dapat kita pungkiri bahwa bahasa mempengaruhi politik dan politik mempengaruhi bahasa. Sebagaimana pendapat Aristoletes manusia merupakan seekor ”binatang politik” (politikon zoon, political animal), dan sebagai “binatang” yang memiliki kemampuan pikiran, akal, dan perasaan, kita telah pintar menerima bahasa politik. Jika maksud iklan politik ingin mengelabui rakyat, apa daya rakyat kini sudah kian pintar memilah dan memilih, atau malah rakyat kini sudah apatis dan apolitis.
Jones (1994) membedakan politik mikro dan makro. Pada tataran mikro, ada konflik kepentingan dan upaya saling mengalahkan. Ditempuhlah persuasi, argumen rasional, strategi irasional, ancaman, rajukan, suap, hingga manipulasi. Pada tataran makro, terjadi pelembagaan politik di tingkat negara. Konflik kepentingan diatasi dan naluri saling mendominasi ditangani. Kampanye pemilu merupakan bagian politik mikro. Bahasa kampanye, menurut Bourdieu, dibuat tak sekadar untuk dipahami, tetapi untuk dinilai dan diapresiasi (signes des richesse), bahkan untuk dipercaya dan dipatuhi (signes d’autorité). Maka wajar jika bahasa kampanye bernuansa persuasif dan argumentatif-rasional, tetapi kadang irasional, memohon-mohon, menyerang, dan manipulatif.
Bahasa sangat penting dalam politik, sebagai aspek yang kuat dan terbuka, bahasa bisa digunakan baik oleh orang yang berkuasa maupun oleh orang biasa yang melawannya. Alasan kekuatan adalah bahasa karena bahasa bisa merubah pendapat orang. Bahasa bisa digunakan untuk mendalangi masyarakat, terutama dalam bidang politik sebab pidato atau argumen yang bagus bisa menyakinkan khalayak tentang isu-isu penting.
Walaupun bahasa penting dalam bidang politik, dalam penggunannya tidak selalu berhasil memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Hal itu mungkin karena bahasa politik terlalu jauh dari bahasa sehari-hari. Bahasa politik di Indonesia terlalu sering diwarnai jargon, plesetan, singkatan, semboyan, dan kebanyakan dimaksudkan untuk mengangkat citra diri sendiri dan/atau menjatuhkan lawan. Jargon politik mempengaruhi wacana politik, karena orang yang ingin mengambil bagian dalam debat umum, pasti harus tahu bagaimana mengunakan bahasa yang cocok. Alasan bahwa politikus berbicara dalam semboyan adalah karena lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan kalimat lengkap. Singkatan-singkatan lebih pendek dan sederhana, semboyan-semboyan lebih efektif dan ekonomis. Sayangnya, banyak semboyan dipakai terlalu sering dan menjadi klise.
Bahasa adalah kekuasan. ‘Politik adalah sesuatu seni, atau kegiatan untuk memperoleh kekuasaan dan merambah kekuasaan’. Politikus seharusnya menguasai bahasanya untuk alasan penting, karena siapapun menguasi bahasa akan mempunyai kekuasaan. Ada hubungan yang sangat kuat antara bahasa dan kekuasaan karena mereka yang mempunyai kekuasan bisa mengawasi media massa dan akibatnya mengawasi bahasa.
Pada akhirnya, tidak dapat kita pungkiri bahwa bahasa mempengaruhi politik dan politik mempengaruhi bahasa. Sebagaimana pendapat Aristoletes manusia merupakan seekor ”binatang politik” (politikon zoon, political animal), dan sebagai “binatang” yang memiliki kemampuan pikiran, akal, dan perasaan, kita telah pintar menerima bahasa politik. Jika maksud iklan politik ingin mengelabui rakyat, apa daya rakyat kini sudah kian pintar memilah dan memilih, atau malah rakyat kini sudah apatis dan apolitis.
Bahasa dan Media Massa
Keberadaan media dapat dijadikan sebuah parameter maju tidaknya kelompok masyarakat. Hal ini karena media massa menjalankan fungsi-fungsi informasi, hiburan, dan pendidikan. Media massa adalah situs yang sangat kuat untuk produksi dan sirkulasi makna-makna sosial. Media masa menyediakan jalan masuk ke berbagai informasi dan harus dipahami sebagai sebuah institusi kompleks. Institusi ini dicirikan sebagai seperangkat proses, praktik, dan konvensi tempat masyarakatdi dalamnya dikembangnya dalam konteks sosial dan budaya tertentu.
Peran media massa dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat negara berkembang telah dikemukakan oleh para pengamat antara lain yaitu penggunaan media massa sebagai tempat menunjukkan superioritas ideologi Barat, penciptaan wacana dominan bagi masyarakat timur yang terjajah, dan penciptaan rejim kebenaran bagi masyarakat-masyarakat di negara berkembang. Dengan kondisi tersebut terdapat dua pandangan yang perlu diketahui yakni pandangan positivisme dan pandangan konstruktivisme. Penting bagi masyarakat negara berkembang untuk menggunakan pandangan konstruktivisme dalam memperlakukan media massa. Pandangan ini menekankan bahwa kehadiran media massa adalah sebagai salah satu sumber informasi saja, bukan sebagai penyedia segala-gala informasi yang kita butuhkan.
Bahasa dalam hubungannya dengan media massa memperoleh lahan yang strategis untuk pengembangannya. Menuru Bell terdapat empat alas an ketertarikan pada bahasa media yaitu: media massa menyediakan sumber data kebahasaan; media massa meruakan institusi linguistik yang penting; bahasa yang digunakan sangat menarik; media massa merupakan institusi sosial yang penting. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahasa menduduki peran sentral bagi media dalam mengkonstruksi para pembaca atau pendengarnya.
Tanpa kita sadari, media massa yang berkembang saat ini berimbas pada banyak segi kehidupan antara lain pada bidang ekonomi seperti timbulnya kebiasaan konsumtif di seluruh lapisan masyarakat. Pada bidang budaya, gencarnya informasi dan cara pandang yang disuguhkan (dan kebanyakan berorientasi ke Barat) membuat generasi muda makin berkurang penghargaannya terhadap budaya lokal. Namun, tidak semua dampak media massa di Indonesia buruk. Dalam hal kebahasaan, perkembangan bahasa tidak lepas dari peran media massa. Bahasa Indonesia sendiri dapat tersebar luas dan biasa digunakan hingga pelosok negeri adalah salah satu sisi positif media massa. Selain itu, media massa yang sering menampilkan tayangan (hiburan, berita, dll) ikut andil pula dalam perkembangan bahasa asing di Indonesia.
Sayangnya, media massa kita saat ini cenderung menyuguhkan hal-hal yang sebenarnya kurang bermutu dan hanya mencari keuntungan dari berita-berita populer yang kosong. Contohnya televisi yang saat ini dipenuhi dengan sinetron, gossip, berita yang selalu diulang-ulang, hiburan, dan sebagainya. Koran juga tidak terlalu jauh berbeda, umumnya yang diungkap adalah berita-berita populer yang dilebih-lebihkan. Terlebih menjamurnya internet dengan kemudahan pengaksesan data yang begitu cepet dalam sekali “klik” dengan kontrol yang kurang dari banyak pihak juga memberi andil besar terhadap perkembangan generasi muda. Untuk itu bom waktu yang sedang mempersiapkan diri untuk meledak ini harus kita hentikan perkembangannya. Salah satu cara termudah kita adalah selektif memilih tontonan, bacaan, serta memanfaatkan teknologi seefektif dan seberguna mungkin.
Peran media massa dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat negara berkembang telah dikemukakan oleh para pengamat antara lain yaitu penggunaan media massa sebagai tempat menunjukkan superioritas ideologi Barat, penciptaan wacana dominan bagi masyarakat timur yang terjajah, dan penciptaan rejim kebenaran bagi masyarakat-masyarakat di negara berkembang. Dengan kondisi tersebut terdapat dua pandangan yang perlu diketahui yakni pandangan positivisme dan pandangan konstruktivisme. Penting bagi masyarakat negara berkembang untuk menggunakan pandangan konstruktivisme dalam memperlakukan media massa. Pandangan ini menekankan bahwa kehadiran media massa adalah sebagai salah satu sumber informasi saja, bukan sebagai penyedia segala-gala informasi yang kita butuhkan.
Bahasa dalam hubungannya dengan media massa memperoleh lahan yang strategis untuk pengembangannya. Menuru Bell terdapat empat alas an ketertarikan pada bahasa media yaitu: media massa menyediakan sumber data kebahasaan; media massa meruakan institusi linguistik yang penting; bahasa yang digunakan sangat menarik; media massa merupakan institusi sosial yang penting. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahasa menduduki peran sentral bagi media dalam mengkonstruksi para pembaca atau pendengarnya.
Tanpa kita sadari, media massa yang berkembang saat ini berimbas pada banyak segi kehidupan antara lain pada bidang ekonomi seperti timbulnya kebiasaan konsumtif di seluruh lapisan masyarakat. Pada bidang budaya, gencarnya informasi dan cara pandang yang disuguhkan (dan kebanyakan berorientasi ke Barat) membuat generasi muda makin berkurang penghargaannya terhadap budaya lokal. Namun, tidak semua dampak media massa di Indonesia buruk. Dalam hal kebahasaan, perkembangan bahasa tidak lepas dari peran media massa. Bahasa Indonesia sendiri dapat tersebar luas dan biasa digunakan hingga pelosok negeri adalah salah satu sisi positif media massa. Selain itu, media massa yang sering menampilkan tayangan (hiburan, berita, dll) ikut andil pula dalam perkembangan bahasa asing di Indonesia.
Sayangnya, media massa kita saat ini cenderung menyuguhkan hal-hal yang sebenarnya kurang bermutu dan hanya mencari keuntungan dari berita-berita populer yang kosong. Contohnya televisi yang saat ini dipenuhi dengan sinetron, gossip, berita yang selalu diulang-ulang, hiburan, dan sebagainya. Koran juga tidak terlalu jauh berbeda, umumnya yang diungkap adalah berita-berita populer yang dilebih-lebihkan. Terlebih menjamurnya internet dengan kemudahan pengaksesan data yang begitu cepet dalam sekali “klik” dengan kontrol yang kurang dari banyak pihak juga memberi andil besar terhadap perkembangan generasi muda. Untuk itu bom waktu yang sedang mempersiapkan diri untuk meledak ini harus kita hentikan perkembangannya. Salah satu cara termudah kita adalah selektif memilih tontonan, bacaan, serta memanfaatkan teknologi seefektif dan seberguna mungkin.
Bahasa dan Kelompok Etnik
Etnik mengacu pada kelompok yang keanggotaanya berdasarkan asal-usul keturunan. Kelompok demikian ditandai dengan ciri-ciri fisik yang relatif tetap, seperti warna kulit, rambut, hidung, dan sebagainya. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku (a/l suku Batak) dan dibawah suku seringkali terdapat sub suku (misalnya pada suku Batak terdapat Batak Karo, Dairi, Pak-Pak).
Bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: bahasa daerah adalah alat identitas suku. Dalam bahasa Indonesia terdapat pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, jika pepatah ini dimaknai secara harafiah berarti bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan dari kelompok (etnis/suku/daerah) apa orang tersebut berasal. Namun, ternyata pendapat ini belum tentu benar: tidak selalu bahasa menunjukkan bangsa, apalagi jika ukuran bangsa ditentukan oleh politik yang menyebabkan pengertian bangsa menjadi kabur.
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam kebahasaan seseorang, misalnya seorang keturunan Bali akan dapat dengan lancar berbahasa Jawa jika lingkungan tempatnya tinggal (dalam kurun waktu tertentu) menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Cara orang berbicara bukan disebabkan oleh ras/sukunya karena seorang penutur akan terbawa dan mengikuti ciri linguistik orang-orang yang hidup rapat dengannya. Jadi perbedaan pola tutur bukan disebabkan oleh struktur fisik melainkan oleh lingkungan bahasa. Pola tutur yang diambil ialah pola dominan yang terdapat dalam lingkungan itu. Fakta lain adalah tidak ada jaminan kelompok-kelompok manusia yang tergolong dalam satu ras menggunakan bahasa serumpun.
Meski tidak selalu ada hubungan antara bahasa dengan ras, tetapi dalam banyak hal bahasa merupakan faktor penting (ciri linguis merupakan kriteria pembatas yang paling penting untuk dari keanggotaan etnik). Hubungan antara bahasa dan etnik merupakan hubungan sederhana yang bersifat kebiasaan, yang dipertegas oleh rintangan social antarkelompok, dengan bahasa sebagai ciri pengenal utama. Pada umumnya orang akan menyatakan diri sebagai anggota sesuatu etnik atau suku tertentu dengan ciri penting bahasa ibunya. Etnik memperhatikan keterpisahan dan identitas mereka melalui bahasa, meskipun terdapat ciri-ciri lain (misalnya fisik, agama, sejarah, adat istiadat, dll).
Ragam bahasa sebenarnya hanya berupa suatu kecenderungan dan seluruhnya terdiri dari perbedaan kosakata: kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu. Contohnya dalam berbahasa Indonesia kadang penutur masih dipengaruhi oleh bahasa daerahnya sehingga menggambarkan ragam tertentu. Ciri tersebut dapat dilihat dari penggunaan/pelafalan fonem tertentu. Ciri linguis yang menandai etnik cenderung digunakan oleh orang-orang yang tinggal di suatu daerah, dan hal itu kemudian menjadi dasar perbedaan dialek geografis. Jadi terdapat korelasi antara perbedaan etnik dengan ciri fonologi.
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Hal ini disebabkan beberapa etnik membentuk masyarakat sehingga terciptalah sebuah masyarakat majemuk (prulal society). Keanekabahasaan biasanya membawa masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama yang termasuk minoritas bahasa), pemerintah, dan dunia pendidikan. Masalah bagi individu ialah mereka harus menguasai minimal dua bahasa sebelum mereka dapat berfungsi secara penuh dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Keberhasilan penguasaan bahasa tersebut salah satunya bergantung pada motivasi yang mereka miliki. Ada dua macam motivasi yaitu motivasi instrumental (bahasa sebagai alat untuk mencapai sesuatu) dan motivasi integrasi (bahasa dapat menentukan hidup di masa datang). Masalah dalam bidang pemerintahan adalah terlibatnya bahasa sebagai alat politik, baik untuk mematikan etnik tertentu atau untuk mencapai kemerdekaan sebuah etnik.
Tidak dapat dipungkiri keberagaman etnik menimbulkan masalah kebahasaan. Bangsa Indonesia sedikit banyak telah mengatasi permasalahan tersebut dengan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, karena pada kenyataannya Indonesia adalah salah satu negara terkaya dari segi keberagaman bahasa.
Bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik. Bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: bahasa daerah adalah alat identitas suku. Dalam bahasa Indonesia terdapat pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, jika pepatah ini dimaknai secara harafiah berarti bahasa yang digunakan oleh seseorang menunjukkan dari kelompok (etnis/suku/daerah) apa orang tersebut berasal. Namun, ternyata pendapat ini belum tentu benar: tidak selalu bahasa menunjukkan bangsa, apalagi jika ukuran bangsa ditentukan oleh politik yang menyebabkan pengertian bangsa menjadi kabur.
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam kebahasaan seseorang, misalnya seorang keturunan Bali akan dapat dengan lancar berbahasa Jawa jika lingkungan tempatnya tinggal (dalam kurun waktu tertentu) menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Cara orang berbicara bukan disebabkan oleh ras/sukunya karena seorang penutur akan terbawa dan mengikuti ciri linguistik orang-orang yang hidup rapat dengannya. Jadi perbedaan pola tutur bukan disebabkan oleh struktur fisik melainkan oleh lingkungan bahasa. Pola tutur yang diambil ialah pola dominan yang terdapat dalam lingkungan itu. Fakta lain adalah tidak ada jaminan kelompok-kelompok manusia yang tergolong dalam satu ras menggunakan bahasa serumpun.
Meski tidak selalu ada hubungan antara bahasa dengan ras, tetapi dalam banyak hal bahasa merupakan faktor penting (ciri linguis merupakan kriteria pembatas yang paling penting untuk dari keanggotaan etnik). Hubungan antara bahasa dan etnik merupakan hubungan sederhana yang bersifat kebiasaan, yang dipertegas oleh rintangan social antarkelompok, dengan bahasa sebagai ciri pengenal utama. Pada umumnya orang akan menyatakan diri sebagai anggota sesuatu etnik atau suku tertentu dengan ciri penting bahasa ibunya. Etnik memperhatikan keterpisahan dan identitas mereka melalui bahasa, meskipun terdapat ciri-ciri lain (misalnya fisik, agama, sejarah, adat istiadat, dll).
Ragam bahasa sebenarnya hanya berupa suatu kecenderungan dan seluruhnya terdiri dari perbedaan kosakata: kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu. Contohnya dalam berbahasa Indonesia kadang penutur masih dipengaruhi oleh bahasa daerahnya sehingga menggambarkan ragam tertentu. Ciri tersebut dapat dilihat dari penggunaan/pelafalan fonem tertentu. Ciri linguis yang menandai etnik cenderung digunakan oleh orang-orang yang tinggal di suatu daerah, dan hal itu kemudian menjadi dasar perbedaan dialek geografis. Jadi terdapat korelasi antara perbedaan etnik dengan ciri fonologi.
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Hal ini disebabkan beberapa etnik membentuk masyarakat sehingga terciptalah sebuah masyarakat majemuk (prulal society). Keanekabahasaan biasanya membawa masalah bagi individu-individu dan kelompok individu (terutama yang termasuk minoritas bahasa), pemerintah, dan dunia pendidikan. Masalah bagi individu ialah mereka harus menguasai minimal dua bahasa sebelum mereka dapat berfungsi secara penuh dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Keberhasilan penguasaan bahasa tersebut salah satunya bergantung pada motivasi yang mereka miliki. Ada dua macam motivasi yaitu motivasi instrumental (bahasa sebagai alat untuk mencapai sesuatu) dan motivasi integrasi (bahasa dapat menentukan hidup di masa datang). Masalah dalam bidang pemerintahan adalah terlibatnya bahasa sebagai alat politik, baik untuk mematikan etnik tertentu atau untuk mencapai kemerdekaan sebuah etnik.
Tidak dapat dipungkiri keberagaman etnik menimbulkan masalah kebahasaan. Bangsa Indonesia sedikit banyak telah mengatasi permasalahan tersebut dengan digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, karena pada kenyataannya Indonesia adalah salah satu negara terkaya dari segi keberagaman bahasa.
Bahasa dan Kelas Sosial
Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih dari satu status sosial.
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.
*(sebagian resume dari: Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.)
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.
*(sebagian resume dari: Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.)
Langganan:
Postingan (Atom)