Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih dari satu status sosial.
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.
*(sebagian resume dari: Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar